Liku-Liku Jualan di Internet

Gigip AndreasGigip Andreas / Jurnal · 14 menit dibaca

Seperti yang saya ceritakan di tulisan sebelumnya, belakangan ini saya sedang sok-sok menyibukkan diri dengan menjalankan usaha kecil-kecilan bersama adik saya. Nah, selama 7 minggu jualan, rupanya kami telah menjual 36 barang dengan total pendapatan 1.468.000 rupiah.

Angka yang sangat kecil dan pertumbuhan penjualan yang lambat, tapi itu tidak terlalu penting karena kami mendapatkan sesuatu yang lebih bernilai daripada uang satu juta: ilmu mengubah uang dari 345.000 (modal awal kami) menjadi kelipatan empat. Ke depannya kami hanya perlu memutar otak untuk mengubah kelipatannya menjadi tujuh atau delapan, sambil mempercepat pertumbuhan penjualan.

Jadi, sebelum lanjut, mari kita rayakan dengan meledakkan konfetinya!

Sama seperti kebanyakan penjual masa kini, kami jualan di Marketplace, dan ada banyak sekali kejadian lucu yang kami alami.

Puncak komedi pekan ini:

Lazada - Paket Hilang
Kurir dibegal?

Karena lucu (ya, menurut saya paket hilang padahal dikirim oleh ekspedisi ternama itu lucu), saya mengunggahnya ke Instagram Story. Lalu teman saya yang juga jualan di Marketplace mengirimi saya pesan: “Mending begitu daripada barang balik tapi isinya dus kosong 😂”.

Saya bertanya, “Pernah?”

“Pernah. Barang harga 250 ribu. Teman saya barangnya harga 600 ribu.”

Sial. Itu 600 ribu jadi dus kosong.

Obrolan berlanjut ke berbagi cara-cara berjualan. Saya memberi tahu berbagai upaya yang kami lakukan. Tanggapan dia: “Repotkah? Dibanding cuma jualan lewat Shopee atau Lazada, apa caranya ribet?” dan saya jawab, “Ya, repot, tapi kita memang harus jemput bola”.

Percaya atau tidak, mayoritas pembeli kami berasal dari Facebook Marketplace.

Face—apa? Demi Tuhan, hari gini masih ada yang main Facebook like WTF?!

Ada. Banyak. Dan mereka belum terbiasa dengan konsep e-commerce. Jangankan tahu cara transaksi lewat Shopee atau Lazada, punya akun pun tidak. Dan bahkan, setelah kami memberikan tautan ke Marketplace, mereka masih bingung tentang deskripsi produk atau lokasi pengiriman. Saya tidak sedang mengejek tingkat literasi atau Indonesia 4.0, sebab saya akui bahwa konsep toko daring ini memang sesuatu yang mewah dan punya terlalu banyak fitur untuk dipelajari.

Sedikit cerita: saya akrab dengan komputer sejak kecil, terbilang cukup melek teknologi, tapi selalu memilih belanja ke toko fisik sampai tahun 2020. Alasan utama menolak bikin akun di e-commerce karena saya tidak ingin mendaftar dengan surel dan nomor ponsel (saat itu selalu ada saja berita kebocoran data bahkan di e-commerce ternama), dan alasan lainnya karena saya tidak percaya ulasan sosial. Datang ke toko fisik terasa lebih aman karena saya bisa mengecek barang sebelum membeli. Tapi tahun 2020 saya bekerja di kabupaten yang jauh dari mana-mana dan ingin beli Pod baru, jadi mau tidak mau saya harus belanja online.

Pengalaman pertama saya? Dengan semua latar belakang yang saya miliki, pertama kali belanja di Shopee masih memakan banyak waktu dan usaha. Sekarang pikirkan orang-orang yang tidak terlalu mengenal teknologi. Seberapa penting atau mendesak atau langka produk kami sehingga mereka mau repot-repot bikin akun hanya untuk membeli? Bahkan jika harganya sangat murah, saya pikir orang lebih sudi jalan kaki ke warung di depan gang untuk beli rokok 20.000 daripada bikin akun dan meluangkan waktu untuk mempelajari cara kerja suatu aplikasi.

Itu seperti kamu sudah telanjur nyaman bermain Twitter lalu penasaran dengan Mastodon. Atau sudah bertahun-tahun menulis di Blogger dan ingin coba-coba pindah ke WordPress yang dihos mandiri. Hanya orang-orang yang punya dorongan besar dan waktu luang yang cukup yang bisa melakukannya.

Jadi saya ingin menyingkirkan sebanyak-banyaknya kemungkinan alasan yang membuat orang kesulitan membeli. Tidak terbiasa dengan tempat kami jualan? Kami datang ke tempatmu bermain. Bingung dengan antarmuka Shopee dan Lazada? Kami bikin web dan merancang antarmuka yang lebih ramah pengguna. Tidak punya rekening untuk transfer? Kami yang atur ekspedisi dan pembayaran di tempat. Sangat ingin beli tapi baru gajian akhir pekan? Kami simpan stok dan jadwalkan kurir agar datang ketika kamu memegang uang.

Jika saya memerinci semua upaya kami, pekerjaan kami mungkin akan terdengar sangat gila dan melelahkan. Yah, meskipun sesekali ada momen yang sampai membuat saya ingin menceburkan kepala ke bak mandi, sebenarnya secara keseluruhan sangat menyenangkan, sisanya cuma menantang. Tapi saya harus mengakui bahwa kemudahan yang saya alami juga terbantu oleh latar belakang yang saya miliki. Dan setelah saya meninjau catatan evaluasi kami kemarin, saya pikir sekurang-kurangnya ada tiga keterampilan teknis yang harus/bisa kamu asah ketika ingin jualan di internet, terutama ketika kamu adalah tim kecil dengan modal yang minim.


1. Bisa Memprogram

Bukan berarti pemrograman penting untuk semua bidang. Tapi jika kamu bisa merakit alat-alat kebutuhanmu secara mandiri, kamu akan punya ruang gerak yang lebih luas dengan biaya yang jauh lebih hemat. Sebagai contoh, jika kamu bisa membuat web untuk landing page produkmu (entah itu mengotori tanganmu dengan HTML atau menggunakan page builder atau WordPress + Elementor), kamu bisa menghemat sekitar satu hingga dua juta rupiah.

Benar, tidak semua produk butuh situs web, tapi jika kasusmu sama seperti kasus kami yang saya ceritakan sebelumnya, saya pikir memiliki situs web adalah bentuk investasi yang bagus. Namun, apa yang saya maksud dengan bisa memprogram ini bukan hanya tentang membuat web. Ini tentang membuat apa pun yang kamu butuhkan.

Salah satu contoh kebutuhan umum ketika jualan di internet: alat analitik. Katakanlah kamu membuat landing page menggunakan templat siap pakai di Jekyll, atau mungkin hanya HTML dan CSS dan sedikit JavaScript murni yang indah karena kebutuhanmu masih sangat sederhana. Lalu rekanmu yang tidak terlalu akrab dengan dunia web ingin tahu berapa banyak jumlah pengunjung dan interaksi yang terjadi di web kalian. Solusi apa yang akan kamu ambil? Google Analytics kedengarannya mudah untuk dipasang, tapi apakah rekanmu akan mudah untuk mengakses dan membacanya?

Itu adalah PR di kepala saya ketika ayah saya meminta alat analitik untuk situs web kami. Dia penasaran dengan insight-nya. Jika ini permintaan adik saya, atau orang lain yang cukup terbiasa dengan web, saya akan mengambil Amplitude. Tapi ini ayah saya. Bagaimana saya bisa memberikan akses pada ayah saya tanpa dia harus sign in ke alat analitik yang kami gunakan? Bagaimana cara menunjukkan data/grafis yang mudah dipahami orang awam? Lebih jauh lagi, bisakah itu diakses dengan satu kali klik?

Jika kamu bisa memprogram, kamu hanya perlu waktu untuk berselancar di mesin telusur. Ketik “open source web analytics in [masukkan bahasa program yang kamu gunakan]” dan saya mendapatkan Umami.

/**
 * enum EventData {
 *  'button',
 *  'link',
 * }
 *
 * type TrackEvent = (
 *  event_name: string,
 *  event_data: keyof typeof EventData,
 *  url?: string | undefined,
 *  website_id?: string | undefined
 * ) => void
 */
 
const trackEvent = (...args) => {
  if (window.umami && typeof window.umami.track === 'function') {
    window.umami.track(...args)
  }
}
 
const data = [
  {
    title: 'Beli di Shopee',
    url: '/link-to-shopee',
    color: 'bg-orange-600',
    eventName: 'Shopee',
  },
  // and so on
]
 
function Component() {
  return (
    <div className="wrapper">
      {data.map((d) => (
        <a
          key={d.title}
          href={d.url}
          className={d.color}
          onClick={() => {
            trackEvent(`Button: ${d.eventName}`, 'button')
          }}
        >
          {d.title}
        </a>
      ))}
    </div>
  )
}

Hasilnya kurang lebih seperti ini:

Beli di Shopee
Beli di Lazada
Beli via WhatsApp

Di situs web asli, ketika tombol-tombol itu diklik, Umami akan mencatatnya ke basis data, dan datanya bisa dilihat secara publik (artinya tidak perlu sign in) di tautan khusus dari fitur Share URL. Tugas berikutnya cuma mengedit webmanifest supaya ikonnya terlihat lebih jelas ketika halaman dipasang di beranda ponsel. (Untuk orang tua, jauh lebih efisien menyediakan webmanifest daripada mengingatkan mereka untuk bookmark.)

Contoh lain: Metadata Scraper. Misalnya kamu punya banyak produk di Marketplace dan tiap produk punya 5 hingga 7 foto. Ketika kamu punya foto/produk baru, bagaimana caramu sinkronisasi? Apakah kamu akan mengunggah ulang satu per satu ke web? Lalu bagaimana dengan menjaga ruang penyimpanan? Apakah kamu akan menghapus foto lama satu per satu? Itu bisa membosankan. Alih-alih, tarik saja metadata dari Marketplace ke situs web.

import metascraper from 'some-cool-lib'
 
async function Component() {
  const url = 'https://marketplace.com/your-product'
  const metadata = await metascraper(url)
 
  return (
    <a href={metadata.url}>
      <img
        alt={metadata.description}
        title={metadata.title}
        src={metadata.image}
        height="400"
        width="800"
      />
    </a>
  )
}

Atau contoh umum lainnya di tingkat yang lebih lanjut di luar web: bot otomatisasi. Misalnya, jika kebetulan kamu memakai Facebook Marketplace untuk jualan dan targetmu lebih dari 100 kota, kamu tahu rasa sakit itu. Perulangan itu. Pernah terbesit membuatnya otomatis? Sudah ada orang dermawan yang menulis skripnya dengan Python kalau kamu tertarik.

2. Bisa Mendesain

Harusnya ini sudah jelas. Karena ini adalah keterampilan yang penting bahkan jika kamu tidak jualan di internet. Dari lubuk hati yang terdalam, saya sangat sedih melihat beberapa penjual di Marketplace yang gambarnya hanya modal screenshot dari milik orang lain. Tapi itu menjadi lucu ketika ada yang melakukannya pada produk kami, dan satu-satunya usaha desain yang dia lakukan cuma mencantumkan nomor WhatsApp-nya di bawah foto produk.

Tidak, kami tidak marah. Kami justru senang dan sebenarnya itu salah satu momen yang kami tunggu-tunggu. Karena menurut kami, ketika produk kami di-screenshot dan dijual ulang oleh orang lain, itu berarti dia menganggap produk kami layak dijual—kalau tidak, kenapa dia memasarkannya? Dan coba bayangkan prosesnya. Dia pasti sudah menyeleksi banyak produk sebelum akhirnya memilih milik kami. Jadi ini merupakan pencapaian, patut dirayakan.

Mau meledakkan konfeti lagi?

Saya kurang tahu harga rata-rata jasa desain, tapi anggap saja sekitar 50.000 per satu desain untuk pos Instagram atau thumbnail di Marketplace. Nah, karena biasanya satu produk punya minimal tiga gambar, dan para penyedia jasa sering punya kemurahan hati yang luar biasa epik, mari asumsikan mereka menawarkan harga paket 100.000 untuk 3 desain. Sekarang kalikan angka itu dengan jumlah produk yang kamu jual ditambah jumlah jenis desain yang kamu butuhkan (desain untuk Feed berbeda dengan desain untuk Story, lalu ada desain logo, desain untuk kemasan, dan seterusnya dan sebagainya). Apakah hitunganmu mencapai 500.000? Tarik napas sebentar, kemudian pikirkan biaya revisi (contohnya ketika kamu merilis kemasan baru).

Dengan perkiraan di atas, melihat jumlah desain yang kami miliki, itu sekitar 400.000 untuk satu produk saat kami memulai, dan 400.000 lagi ketika rilis kemasan baru, dan 200.000 untuk produk kedua. Sial itu satu juta hanya untuk desain. Itu pun dengan asumsi kami punya foto produk yang memadai. Jika tidak, kami harus meminta bantuan teman yang paham fotografi dan membayarnya sekitar, mungkin, 350.000?

Tapi coba bandingkan jika kamu bisa mendesain. Kamu akan menghemat banyak uang yang akhirnya bisa kamu alokasikan untuk hal lain. Dan apa yang saya maksud dengan bisa mendesain bukanlah menjadi ahli Photoshop atau fasih menerjemahkan HEX ke RGB. Kamu bisa memakai Canva atau bahkan PicsArt kalau mau, asalkan minimal tahu cara menghapus background untuk mengambil objek dan punya selera yang cukup umum—karena selera yang bagus dalam seni itu hanya milik orang-orang tertentu, jadi setidaknya milikilah selera yang cukup umum. Minimal tahu jenis fon yang sesuai dengan kebutuhan, dan tahu kapan harus berhenti menambahkan sesuatu sebelum desainmu menjadi mirip thumbnail video “5 Fakta Unik Anak Kucing, Nomor 4 Bikin Merinding” di YouTube.

Omong-omong, jika dari tadi saya terkesan menyepelekan hal-hal karena kamu berpikir kebetulan saya bisa, sebenarnya tidak juga. Saya tidak tahu trik-trik canggih dalam dunia desain dan bahkan tidak tahu istilah-istilah aneh di dalamnya. Keterampilan desain saya sangat sekadarnya. Saya hanya punya rasa ingin tahu dan hasrat keras kepala serta sedikit kesembronoan untuk coba-coba. Apakah desain saya bagus? Dibanding para pegiat yang serius menekuni desain, tentu saja tidak, tapi sepertinya cukup untuk ukuran “ala-ala”.

Liwet Asep Stroberi Yogyakarta, 2023

Ketika sedang buntu mengerjakan web kami, saya mendapat tawaran mendesain menu spesial Ramadan untuk Liwet Asep Stroberi cabang Yogyakarta, dan mereka bilang desainnya oke. Dan ya, meski upahnya tidak seberapa, apa yang membuat saya menyukai pekerjaan-pekerjaan semacam ini adalah ketika membaca: “Baguuus! Tinggal bagian ini ganti jadi warna merah, done.”

3. Bisa Menulis

Saya tidak peduli apa yang kamu katakan, saya akan tetap bilang kamu harus bisa menulis atau memiliki seseorang di dalam tim yang bisa menulis. Orang yang mencintai kata-kata. Orang yang peduli pada penempatan titik koma. Orang yang matanya menjadi gatal ketika membaca “Free ongkir dan bisa COD” tapi dia mengerti kosakata itu lebih efisien dan terdengar akrab bagi orang lain daripada “Gratis biaya pengiriman dan bisa bayar di tempat ketika barang sampai”.

Ada banyak situasi yang membutuhkan keterampilan menulis. Contoh yang paling krusial: rapat. Apa pola umum dalam diskusi? Seseorang menjadi pembicara, yang lain mendengarkan, lalu bereaksi. Itulah masalahnya. Si pembicara mungkin sudah menghabiskan banyak waktu untuk berpikir dan merenung sebelum menyampaikan ide-idenya, dan orang lain hanya diminta bereaksi. Tanpa renungan, tanpa pertimbangan, tanpa pemikiran—hanya reaksi. Itu bukan cara yang bagus untuk diskusi.

Saya lebih suka cara kuno: setiap kali saya ingin melempar ide baru atau sesuatu yang layak didiskusikan anggota tim, saya akan menulisnya terlebih dahulu. Dalam bentuk panjang. Beberapa ratus kata. Kemudian kirimkan teksnya pada mereka. Biasanya ada jeda hening cukup lama sebelum saya mendapat jawaban, dan itu bagus. Itu berarti mereka memikirkan kata-katanya. Mereka merenungkannya. Mereka akan meluangkan waktu untuk membuat jawaban seperti ketika saya meluangkan waktu saat menulis gagasan. Itulah yang saya butuhkan. Bukan reaksi.

Proses diskusi harusnya sama seperti proses merancang desain. Buat sketsa kasar yang tidak terlalu mendetail, kirim pada desainer, dan katakan, “Saya tahu ini gambar kerangka pesawat tapi bukan itu yang saya ingin kamu kerjakan. Saya ingin kamu berimajinasi dan membuat desain pesawat yang lebih baik”. Atau seperti ketika memberi premis pada rekan menulis: “Seorang ibu yang ingin mengajak anaknya pergi ke bulan karena sudah tidak kuat tinggal di rumah”. Jika terlalu detail, itu sudah menjadi kerangka cerita, dan rekan-rekanmu akan kehilangan ruang untuk mengembangkannya.

Ketika kami mencari slogan untuk produk kami, saya bilang, “Hanya tiga atau empat kata, nadanya kekinian dan bersahabat, jangan bahasa Inggris”. Dan ketika tim melontarkan ide-ide, saya langsung memotongnya karena kamu tidak akan mendapatkan slogan bagus dengan cara duduk berhadapan dalam satu ruangan. Itu akan datang ketika kamu menonton film, mendengarkan musik, membaca buku, terjebak macet di jalan. Jadi saya meminta mereka mengingat syaratnya dan pikirkan nanti. Bawa pulang, tulis semua ide di bloknot, seleksi dan kembangkan hari berikutnya.

Contoh kasus lain yang juga penting: ketika mendapatkan ocehan dari pelanggan. Tahukah kamu pelanggan yang marah adalah berkah? Lebih dari 90% pelanggan tidak akan pernah menjelaskan keluh kesah mereka ketika memutuskan untuk berhenti membeli atau berlangganan. Orang lebih suka bilang “waktunya tidak tepat untuk kami” atau “kami pikir kami akan pilih yang lain” karena itu menghindari konflik.

Pasti ada yang salah dengan pendekatanmu ketika pelanggan tidak mau konfrontasi. Padahal, satu-satunya validasi yang harus kamu dengarkan adalah suara pelanggan. Suara orang yang membayar produkmu. Jika kamu kehilangan kesempatan untuk mendapatkan suara mereka, itu berarti kamu kehilangan kesempatan untuk memperbaiki produkmu. Masalah dengan orang yang tidak bisa menulis adalah tidak bisa menanggapi kemarahan pelanggan dengan baik. Hanya orang-orang yang bisa menulis yang tahu apa yang harus dikatakan ketika pelanggannya mengomel.

Bandingkan ini:

Keluhan pelanggan pada kami
Keluhan pelanggan pada kami

Dengan ini:

Keluhan kami pada Marketplace
Keluhan kami pada Marketplace

Penulis yang baik lebih dari sekadar kata-kata. Mereka tahu bagaimana cara berkomunikasi. Mereka membuat hal-hal menjadi mudah dimengerti. Mereka mampu menempatkan diri mereka pada posisi orang lain. Mereka tahu apa yang harus dihapus. Mereka berpikir jernih.

Keterampilan menulis yang baik merupakan indikator pikiran yang terorganisir yang mampu mengatur informasi dan argumen secara sistematis dan juga membantu orang lain memahami sesuatu. Itu meluas ke dalam kode, komunikasi pribadi, pesan instan (untuk kolaborasi jarak jauh), dan bahkan konsep esoteris seperti profesionalisme dan keandalan.

Dustin Mitchell

Lain waktu, ketika kamu menyeleksi di antara beberapa orang untuk mengisi suatu posisi di dalam timmu, selalu pilih penulis yang lebih baik. Tidak peduli apakah penulis itu seorang desainer, pemrogram, pemasar, atau apa pun, keterampilan menulis adalah aset jangka panjang.


Itulah tiga keterampilan teknis yang kami andalkan untuk menggandakan uang ke kelipatan empat. Tidak ada trik-trik sihir seperti yang akan kamu temukan di artikel “Rahasia Jualan di Markerplace, Siap-Siap Banjir Order” karena sudah pasti tidak bekerja (kalau bekerja, mereka akan buka kursus daripada menulis artikel 700 kata). Apa yang kami lakukan hanya jualan biasa seperti orang pada umumnya dan menekan biaya dengan melakukan semuanya sendiri.

Memang kelihatannya agak sulit jika saat ini kamu hanya memiliki salah satu keterampilan atau bahkan tidak ada sama sekali, tapi kabar baiknya, sudah ada banyak sumber belajar gratis di internet untuk mempelajari ketiga keterampilan di atas. Dan kabar baiknya lagi, ada banyak perangkat lunak hebat yang juga gratis yang bisa kamu manfaatkan.

Pada akhirnya, apa yang ingin saya katakan adalah jika kamu masih punya banyak waktu untuk melamun atau meracau di Twitter, sebaiknya gunakan itu untuk mempelajari hal-hal baru, bahkan jika kamu tidak ada niat jualan hari ini. Kamu akan berterima kasih pada dirimu sendiri ketika kelak membutuhkannya.

Hai, terima kasih sudah membaca

Anjing Paling Mungil Menyalak Paling Bising

Jika kamu menyukai tulisan-tulisan saya, saya punya buku digital kumpulan cerita pendek yang mungkin kamu juga akan suka.

Bisa dibeli di KaryaKarsa dan SociaBuzz.

Terima kata, terima kasih

Setiap komentar yang dikirim akan masuk ke surel saya dan tidak ditampilkan di sini. Sila berkomentar sebebas-bebasnya.