Selalu Ada Pelangi setelah Hujan

Bahkan di langit malam, seredup apa pun itu

Gigip AndreasGigip Andreas / Jurnal · 22 menit dibaca

/1/

suatu siang di sebuah kamar aku diam di depan sepasang jendela kembar yang membagi langit berwarna biru cerah menjadi dua sambil sekali lagi mendengar kau merencanakan perpisahan

aku membayangkan sepotong langit akan menyerap air mata kau, sementara air mata aku akan menguap ke langit yang sepotong lagi. sesaat kemudian hujan berjatuhan karena sedih

membuat kau batal meninggalkan kamar. membuat kau gagal meninggalkan aku.

Aan Mansyur, Cinta yang Marah


“Kayaknya Senin hari terakhir aku di kantor.”

Dia mengirimiku pesan itu Sabtu sore, dua hari sebelum dia resign. Tanggalnya bertepatan tiga bulan kami berteman. Tiga bulan, tapi rasanya selalu seperti baru kemarin.

Selasa, 8 Agustus 2023

Ini adalah bulan ketigaku di kantor dan bulan kedua sejak aku dipindahkan dari gedung B2 ke D1. Kini aku satu ruangan dengan tim lain. Jumlahnya sekitar 20 orang saat itu, dan aku baru bicara dengannya dua minggu lalu. Sebelum-sebelumnya aku tidak pernah memperhatikan dia. Aku bahkan tidak tahu namanya, tidak ingat wajahnya, tidak sadar bahwa kami satu ruangan. Jika kami berpapasan di jalan, aku pasti mengabaikannya dan menganggap dia orang asing.

Bukan salahku, menurutku. Dia pendiam, hampir tidak pernah bicara, dan seingatku bukan orang yang aktif juga. Di sisi lain aku sendiri tipe yang tidak peduli sekitar dan hanya tertarik pada segelintir orang. Tapi dua minggu yang lalu dia ada jadwal Webinar dengan calon kliennya, dan kebetulan aku juga. Jadi aku menitip calon klienku untuk ikut Webinarnya. Itulah momen pertama kami mengobrol.

“Kalau berhasil, traktir Mixue, ya!” katanya.

Dua minggu kemudian aku mendapat klien. Bukan yang ikut Webinar dia, tapi aku sudah janji untuk mentraktir Mixue saat punya klien baru. Jadi begitulah, satu Mixue Oreo Sundae mendarat di mejanya.

Tapi kami tidak banyak mengobrol lagi sejak itu. Hari-hari kami berjalan seperti biasanya; dia sibuk dengan kesibukannya dan aku juga asyik sendiri dengan duniaku.

Kamis, 14 September 2023

Tiga orang dari timku sudah resign. Dua dari timnya. Lalu, dua dari timku dan tiga dari timnya ditarik ke B2 untuk membuat “tim khusus sementara”. D1 kini jadi 10 orang. Karena jumlahnya sedikit, lebih mudah untuk mengingat siapa-siapa yang satu ruangan denganku sekarang. Dan aku mulai sering memperhatikan. Aku mulai tahu siapa duduk di mana, siapa suka musik apa, atau siapa punya selera humor yang seperti apa. Aku juga mulai membangun koneksi dengan banyak orang, termasuk dan terutama yang mempermudah hidupku. Jadi aku berkawan dengan tukang batagor yang biasa lewat kantor dan sering memesan sesaat sebelum jam istirahat.

Hari ini aku mendapat klien keempat. Dia mengucapkan selamat dan blablabla, dan akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya, “Mau batagor? Sekalian, aku juga lagi beli.”

Sudah dua minggu aku perhatikan dia sering tidur di jam istirahat. Saat aku selesai istirahat, sering kutemukan dia sedang membungkuk di mejanya, dengan kepala di atas tangan kanan dan wajah menghadap ke kiri. Posenya selalu sama. Awalnya kukira dia lelah, tapi lama-lama aku curiga dia tidur untuk menahan lapar. Dan dugaanku ternyata benar.

“Eh? Gak apa-apa?” tanyanya.

“Santai. Kamu sering tidur karena nahan lapar, ya?”

“Hahaha.”

Hari itu aku mulai tahu beberapa hal tentangnya. Dia baru berusia 18 tahun. Anak pertama dari dua bersaudara. Orang tuanya sudah cerai. Ayahnya minggat ketika dia duduk di bangku SMA, ibunya tidak bekerja, adiknya masih sekolah di SMK. Dia yang menjadi tulang punggung di keluarganya. Dia juga konsisten terlambat datang ke kantor. Alasannya, dia harus mengantar adiknya sekolah dan menjadi sopir ojek tetangganya untuk mendapat uang bensin. Gajinya selalu habis untuk bayar kontrakan dan kebutuhan rumah. Untuk punya uang makan, sepulang kerja dia bantu-bantu di grosir milik ibu temannya. Jadi, hampir setiap hari dia adalah orang yang berangkat paling pagi dan pulang paling malam.

Tapi tidak ada yang tahu tentang itu. Selain dia sendiri tidak mau menceritakannya, orang-orang juga tidak pernah bertanya kenapa dia selalu terlambat. Aku juga sebenarnya tidak pernah bertanya, hanya saja kemarin dia tidak masuk jadi aku tanya kenapa. Dia bilang, “Aku cari mamahku. Udah dua hari mamah gak pulang.”

“Loh, kenapa gak bilang?”

“Eh? Kenapa aku harus bilang?”

“Biar kita bolos sama-sama. Cari mamah kamu.”

“Astagfirullah. Gak boleh ngajak hal-hal buruk.”

“Kalau ngajak bolosnya buat cari keluarga, boleh. Tapi kalau ngajak bolosnya buat main ke Lembang, nah, itu juga boleh.”

“Hahaha.”

“Emangnya mamah kamu ke mana?”

Dari situlah semuanya bermula. Dan ada satu hal yang ingin kupastikan, jadi kuakhiri obrolan hari itu dengan bilang, “Ada mi ayam di depan yang enak banget. Mau coba?”

Senin, 18 September 2023

Kami makan mi ayam di dekat kantor dan aku mendadak jadi wartawan. Aku bertanya banyak hal. Usai makan, karena kulihat ada orang lain yang mau makan, aku mengajaknya jalan kaki berkeliling di sekitar sambil melanjutkan obrolan.

Sekitar pukul sembilan, sesaat sebelum pulang, kami singgah di tukang martabak pinggir jalan. “Adik kamu jam segini udah tidur?”

“Belum. Kenapa?”

“Kita beli martabak dulu. Buat adik kamu.”

“Eh, gak usah, gak apa-apa.”

“Mas, martabak satu.”

Kutarik kursi plastik dan menyuruhnya duduk. Aku mengambil rokok dari saku kemeja dan membakarnya. Lalu kuceritakan alasan kenapa aku melakukan semua ini. Aku memulai ceritaku dengan, “Dulu, waktu SMA, aku punya temen yang baik banget.”

Harus kuceritakan tentang itu karena sempat ada salah paham di antara kami. Dia sempat mengira aku berbuat baik padanya karena ingin PDKT. Jadi aku menjelaskan beberapa konteks, dan kubilang aku juga punya pacar, dan untuk jaga-jaga agar lebih jelas, aku mengatakannya secara eksplisit: “Ini mungkin terdengar nyebelin tapi kalaupun aku mau cari pacar, kamu bukan tipe perempuan yang masuk kriteriaku.”

Salah satu alasan utamaku berbuat baik padanya karena pada hari aku membelikannya batagor, dia bilang, selama dia bekerja di kantor ini, baru aku seorang yang menawarinya makan sambil benar-benar membelikannya. Yang lain kadang sebatas hanya menawari, beberapa bahkan tidak menawari sama sekali. Dia tidak masalah dengan itu, hanya saja dia merasa aneh ketika akhirnya ada orang yang membelikannya makan. Sementara dari sisi diriku, aku justru diam-diam berkomitmen untuk mentraktirnya setiap hari karena dia sering tidur menahan lapar.

Semenjak aku mengetahui cerita-ceritanya, aku melihatnya seperti adikku. Sejujurnya, dia memang mengingatkanku pada Nasywa, adik perempuanku. Ada masa-masa ketika ekonomi keluarga kami masih di bawah, orang tuaku tidak mampu memberi bekal pada Nasywa. Dia kadang meminjam uang temannya, tapi lebih sering mengutang di kantin. Dan selalu ada orang baik di sekitarnya. Selalu ada orang yang minimal memberi makan untuk Nasywa. Saat aku mendengar “cuma kamu yang nawarin dan beliin aku makan”, saat itulah aku tahu aku harus selalu mentraktirnya selagi aku mampu.

Selama ini aku merasa aku selalu dikelilingi oleh orang-orang baik. Termasuk di kantor ini. Entah bagaimana ceritanya aku bisa satu tim dengan orang-orang yang keterampilannya kuakui bagus. Dan mereka tidak pelit ilmu. Jika akhirnya aku mendapatkan uang berkat ilmu teman-temanku, menurutku, sudah sepantasnya uang itu kusalurkan juga pada teman-temanku yang lainnya, terlebih yang memang benar-benar layak mendapatkannya. Maksudku, tentu saja aku berbagi dengan semua, tapi beberapa hal ada prioritasnya. Lagi pula uangku juga tidak sebanyak itu, jadi kuputuskan untuk hanya mentraktir rutin satu orang.

Kamis, 21 September 2023

Aku menginap di indekos Akbar, rekan satu timku. Malam itu Akbar minta tolong karena katanya ada urusan genting yang harus dia kerjakan. Tapi seperti yang kuduga, segenting-gentingnya suatu perkara versi Akbar, urusan genting itu hanya terasa genting ketika masih diobrolkan; menjadi tidak penting ketika waktunya dikerjakan. Jadi malam itu kami lebih banyak membahas hal-hal di luar apa yang seharusnya kami bahas. Hingga pada satu titik tiba-tiba kami membahas dia.

Akbar menceritakan satu kisah yang membuatku semakin respek pada gadis itu. Katanya, waktu dia kali pertama mendapatkan klien, dia cerita di depan semua orang bagaimana prosesnya. Hari-harinya selalu dihantui rasa bimbang antara lanjut atau resign. Ibunya menyuruhnya berhenti karena jika hanya mengandalkan gaji di tempat ini tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan (ini benar, berengsek memang, pahit sekali dan semua orang di sini sepakat mengakui). Jadi dia selalu berdoa dan berkata, “Jika tempat ini adalah jalanku maka tunjukkanlah, jika bukan maka tunjukkanlah.”

Tapi bukan itu bagian menariknya. Apa yang membuat kami respek adalah bagaimana gadis itu bertahan selama ini. Jadi, karena dia masih kuliah juga, dia sering pulang malam untuk mengerjakan tugas kuliah di kantor karena dia belum punya laptop. Kadang-kadang dia pulang pukul 10, lain waktu pukul 11. Pernah satu waktu dia menginap karena saking banyaknya tugas. Pada masa ponselnya rusak, dia hanya bisa meminjam ponsel adiknya dan mereka menggunakannya secara bergantian.

Nah, hal yang aku baru tahu malam itu, dia bekerja bantu-bantu di grosir karena kuliahnya sedang libur. Lalu dari mana dia dapat uang ketika tidak ke grosir? Entahlah. Itulah yang membuatku respek padanya. Seorang gadis berusia 18 tahun sudah menjadi tulang punggung, dan selama dia di kantor ini dia selalu berjuang sendirian. Apa yang kulakukan saat aku seusianya? Hal-hal yang hari ini aku sesali, tentu saja. Tapi kita tidak bisa mengubah masa lalu. Hal terbaik yang bisa kulakukan sekarang adalah mencoba melakukan hal-hal yang tidak akan kusesali pada masa depan. Seperti menjadi support system untuk orang lain, misalnya. Jadi malam itu kuputuskan aku tidak akan membiarkan dia sendirian lagi.


/2/

Ketika hujan datang
dan ia sedang di rumah
ia naik, dan memasuki kamar ini
untuk memastikan tak ada
rembesan pada langit-langit.

Norman Erikson Pasaribu, “Cinta”


Senin, 2 Oktober 2023

Dia bilang beberapa meter dari kantor kami ada tempat makan serabi yang enak. Aku tidak ingat kapan terakhir kali makan serabi yang enak, jadi aku mengiyakan ajakannya agar aku ingat rasa serabi.

“Kamu pernah nginap di kantor?”

Dia mengangguk.

“Tidurnya di mana?”

“Di kolong meja aku.”

Aku diam.

“Hahaha. Serius!”

Hari itu kami mengobrol sampai pukul sepuluh. Kuceritakan tentang apa yang kudengar dari Akbar sambil minta cerita lebih lengkapnya. Dia menceritakan semuanya. Tentang dirinya, tentang masa kecilnya, tentang ayahnya, ibunya, adiknya, kuliahnya, orang-orang di kantor, tentang ponselnya yang rusak, tentang satpam kantor yang judes dan menyebalkan, tentang kliennya yang agak sinting, tentang semuanya.

“Tapi bentar. Waktu kamu nginap itu, hape kamu rusak, kan?”

Dia mengangguk.

“Gimana cara kamu ngabarin orang rumah?”

“Gak ada yang peduli. Mau aku gak pulang tiga hari juga gak ada yang nyariin, kok.”

Aku menelan ludah. Lalu kuceritakan tentang masa kecilku. Tentang bagaimana dahulu aku sering bertengkar dengan Nasywa. Seingatku, aku mulai akrab dengan Nasywa saat dia kelas 4 SD. Lalu saat dia SMP dia masuk pesantren, dan setiap dia pulang tiba-tiba kami jadi sangat akrab seperti adik kakak dalam keluarga bahagia pada umumnya.

Kubilang, waktu awal-awal aku masuk kantor ini, Nasywa orang pertama yang rutin mengirimi aku pesan dan bertanya:

  • “Gimana di tempat kerja? Senang gak?”
  • ”Gimana kerjaannya? Bisa gak?”
  • “Kamu punya temen gak di sana?”

Yang terakhir agak kurang ajar tapi aku tahu niatnya. Lalu aku bilang, awalnya memang agak terasa mengganggu, tapi lama-lama aku mulai sadar bahwa dia hanya peduli. Dia khawatir. Dia ingin tahu kabarku. Dan saat aku mengerti itu, aku mulai bisa merasakan bahwa itu terasa hangat.

“Poinku,” kubilang, “kalau kamu mau, aku bisa jadi orang itu buatmu. Orang nyebelin yang nanya-nanya kamu udah sampai rumah atau belum.”

Dia mengangguk.

Jumat, 6 Oktober 2023

Hari Jumat adalah hari ketika kami pulang lebih lama daripada biasanya. Tadi siang dia bilang ingin menonton film. Saat kutanya memangnya sedang ada film apa, dia jawab tidak tahu. “Apa aja bebas, pokoknya ingin nonton.”

Kubuka mesin telusur. “Ada, nih, The Excorcist. Tapi opsinya jam setengah tujuh sama jam sepuluh.”

“Setengah tujuh aja.”

“Kita bubaran jam setengah tujuh.”

“Jam enam kabur aja.”

“Gas.”

Sejak aku menganggapnya seperti adikku sendiri, sulit untuk menolak permintaannya. Aku selalu bisa menolak ajakan pacar (apalagi teman) jika situasinya memang merepotkan. Tapi untuk adik, lebih sering aku memaksakan diri. Mungkin karena aku pernah menyesal, sewaktu dahulu aku bekerja waktu dan uangku habis untuk hal-hal yang lain dan tidak sempat membagikannya pada adik-adikku. Jadi saat, misalnya, adikku minta dibelikan sesuatu padahal tanggal gajian masih jauh dan uangku sebenarnya bentrok dengan keperluan pribadi, terkadang aku lebih memilih memenuhi permintaan adikku.

Dan itu secara alami mulai berlaku kepadanya. Aku adalah orang yang akan datang 5—10 menit sebelum batas fingerprint karena aku tidak tahu mau apa jika datang pagi-pagi. Tapi sejak aku berkomitmen untuk mentraktirnya setiap hari, aku sering menjadi orang pertama atau kedua yang datang cuma demi menyimpan sarapan di meja kerjanya, meskipun pada akhirnya aku tetap tidak tahu mau apa setelahnya. Jadi biasanya seusai menyimpan sarapan di mejanya aku akan ke atas untuk merokok sambil minum kopi, kadang hanya sendiri, kadang berdua dengan Aryo, kadang bertiga dengan Ibu Jenderal alias Head Bussiness Development kami.

Atau ketika salat ashar. Pada waktu ashar, kami anak laki-laki sering salat di masjid di luar kantor dengan alasan supaya bisa melipir ke warung untuk beli minuman dingin dan rokok. Secara etika kerja, baiknya minuman itu dihabiskan di luar. Tapi aku sering kembali ke kantor sambil membawa bakso tahu atau roti atau apa pun karena dia lapar. Bahkan ketika aku sebenarnya tidak lapar, jika dia lapar, aku akan membeli makanan dan ikut makan. Hanya berjaga-jaga jika dia makan di jam kerja dan seseorang tiba-tiba mencibirnya karena dianggap tidak etis, setidaknya dia tidak dicibir sendirian. Aku sudah bilang aku tidak akan membiarkan dia sendirian.

Jadi ketika dia bilang ingin nonton film, itu berarti kami akan nonton film. Dan ketika dia bilang kabur pukul enam, itu berarti kami akan kabur pukul enam.

Rabu, 11 Oktober 2023

Per hari kemarin dia mulai masuk kuliah. Jadwalnya sore-sore selepas kerja hingga malam. Kemarin dia pulang pukul 12 malam. Mengerikan. Lalu hari ini, pukul 9 malam dia mengunggah Status di WhatsApp, foto ruang kantor kami. Aku terkejut.

“Masih di kantor?”

“Masih.”

“Kenapa gak bilang? Sama siapa?”

“OB.”

“Pulang jam berapa?”

“Bentar lagi.”

Hal pertama yang terlintas di kepalaku adalah dia belum makan. Jadi kubilang, “Beli nasi goreng dulu sini.”

Tapi seperti biasa, dia akan menolak halus. “Gak usah, gak apa-apa.”

Itu salah satu bagian menyebalkan dari dirinya. Pada awal-awal aku mulai sering mentraktirnya, per dua atau tiga hari sekali dia akan menolak dengan berbagai alasan. Satu yang paling klasik: enggak lapar. Atau dia akan pura-pura sibuk banyak tugas, seolah-olah kalau dia makan nasi dia tidak akan sempat menyelesaikan tugasnya. Jadi ketika jam istirahat, aku mulai berhenti bertanya “mau makan apa hari ini?” dan langsung pergi ke Rumah Makan Padang, membungkus satu nasi, dan mengantarnya ke mejanya.

Masalahnya ini bukan jam istirahat, aku sudah di rumah, dan aku baru tahu yang dia maksud dengan kuliah adalah meminjam komputer kantor. Jadi saat kemarin dia pulang pukul 12 malam, itu dia di kantor sampai pukul 12 malam.

“Mau kamu ke sini atau aku ke sana?”

“Eh, gak usah, gak apa-apa.”

“Mau kamu ke sini atau aku ke sana?”

“Kalau boleh kamu ke sini. Gak apa-apa?”

Setibanya di kantor, aku berjalan perlahan menghampirinya. Dia hanya menatapku sambil tertawa kecil. Kusimpan keresek yang kubawa di atas meja kerjanya. Lalu kubilang, “Aku mau marah, tapi nanti dulu. Abisin dulu nasi gorengnya.”

Pada akhirnya aku tidak jadi marah. Aku hanya mengulang kata-kata yang pernah kukatakan kepadanya:

Aku kagum sama kamu. Aku salut sama kamu. Kamu hebat bisa bertahan sampai sejauh ini. Tapi aku juga suka sedih setiap ngeliat kamu lari ke toilet buat nangis. Atau waktu kamu tidur di jam istirahat buat nahan lapar. Kalau kamu butuh bantuan, bilang aja. Aku bakal bantu sebisa aku. Apalagi urusan makan. Kalau kamu lapar bilang aja. Jangan sungkan.

Barangkali dia tidak pernah tahu, satu waktu aku pernah berkata pada Dera, teman seruangan kami yang jualan camilan, “Kalau dia mau jajan kasih aja, nanti aku yang bayar.”

Sejak malam itu aku mulai sering datang ke kantor malam-malam pukul sembilan atau sepuluh. Sambil membawa dua nasi goreng dan tiga minuman—dua untuk kami, satu untuk satpam yang berjaga. Dia pernah bilang, satpam yang sering jaga malam itu agak judes dan menyebalkan. Kujawab mungkin karena kalian belum kenal, karena selama ini aku merasa satpam yang dia maksud baik-baik saja.

Barangkali dia tidak pernah tahu, alasan aku sering sengaja datang malam-malam ke kantor bukanlah semata-mata untuk mengantarkan makanan. Itu aku sengaja datang dan pulang bersama, agar satpam yang dia maksud bisa melihat bahwa gadis ini kenalanku, tolong jangan judes kepadanya. Dan menurutku itu berhasil. Pada hari terakhir kami pulang malam di kantor, dia bilang, “Baru kali ini aku lihat si bapak itu senyum. Kayak aneh.”

Aku berusaha membangun koneksi dengan banyak orang di sekitar. Dengan satpam, dengan office boy, dengan tukang batagor di depan, dengan tukang bakso samping kantor, dengan ibu warteg tempat biasa aku makan. Dan aku sering mengajaknya jalan bersama, bukan karena aku ingin jalan-jalan atau ditemani, melainkan untuk memberi tahu orang-orang bahwa gadis ini bersamaku, tolong bersikap ramah juga kepadanya. Dia selalu bilang ingin resign karena kantor ini tidak nyaman dan dia merasa tidak pernah dianggap. Sebaliknya, aku selalu merasa kantor ini menyenangkan dan aku berkawan dengan berbagai kalangan. Aku ingin berbagi kesenangan itu bersamanya.

Barangkali dia tidak pernah tahu, jika nanti suatu waktu aku tidak ada di ruangan karena satu dan lain hal, kemudian turun hujan, aku selalu ingin memastikan, tidak ada rembesan di langit-langitnya.


/3/

Masih sempat kudengar kau membaca
yang huruf demi hurufnya
dulu senantiasa menenteramkanku,
menghembusku bagai angin awal penghujan
yang merendah ke bumi
dan dipilin daun gugur itu.
Aku, kau tahu, tak berhak lagi
berurusan dengan waktu.

Sapardi Djoko Damono, “Perihal Waktu”


Senin, 30 Oktober 2023

Di kantor kami ada tradisi merayakan ulang tahun karyawan. Dia berulang tahun kemarin, pada hari libur. Jadi kami merayakannya hari ini. Manajer kami sempat menunjukku untuk mengucapkan kata-kata mutiara untuknya, mungkin karena dia berpikir kami pacaran. Wajar belaka, sebenarnya. Karena aku tidak pernah menjelaskan motifku pada siapa pun. Aku belum pernah menceritakan semua ini kepada satu orang pun. Jadi kebanyakan orang akan mengira kami PDKT, atau mungkin menyangka kami berpacaran.

Pertama, aku tidak butuh validasi orang dan tidak peduli opini orang. Aku akan melakukan apa yang ingin kulakukan. Kedua, jika ada yang berpikir kami pacaran, itu juga bagus. Secara tidak langsung itu akan menjadi dinding untuk laki-laki yang mengincarnya. Dengan begini dia tidak akan merasa terganggu sehingga dia bisa fokus kerja dan kuliah. Ini bukan lebay, karena asal tahu saja tukang batagor di depan kantor sering menggodanya, sampai satu waktu aku bilang, “Itu adik aku jangan digodain”. Kupikir agak merepotkan jika aku harus selalu mengatakan itu pada semua orang, lebih mudah membuat mereka berpikir gadis ini ada yang menjaganya.

Beberapa jam sebelum bubaran dia bilang ingin nonton film lagi. Kujawab iya, dan akhirnya kami nonton Saranjana hanya karena itulah film yang jadwal putarnya paling cepat dengan waktu kedatangan kami. Selesai nonton kami makan, dan dia bilang, “Aku belum pernah makan burger.” Demi Tuhan, saat mendengar itu aku ingin memberitahunya ada banyak sekali makanan yang harus dia coba.

Di jalan pulang, dia berterima kasih berkali-kali karena dia bilang baru kali ini ada orang yang melakukan semua ini kepadanya. Aku diam sejenak karena tidak tahu harus menjawab apa. Kupikir, dia akan lebih beruntung jika menjadi teman Tsaqif, adikku. Tsaqif adalah anak yang ketika uangnya hanya cukup untuk beli satu porsi nasi dan dia sedang lapar, tapi tahu ada temannya yang juga kelaparan, dia akan memberikan satu porsi itu untuk temannya. Tsaqif mungkin orang paling sufi di keluarga kami.

Setelah diam agak lama, akhirnya aku bilang, “Kalau kamu percaya Tuhan, kamu juga harus percaya takdir.”

“Gimana?”

“Yah, kayak, kenapa kamu enggak resign dari bulan-bulan lalu. Kenapa aku baik sama kamu. Mungkin karena ada titipan dari Tuhan dan dikirimnya baru sekarang.”

Kami sama-sama diam.

Aku melanjutkan. “Yang gerakin hati manusia itu Tuhan, kan? Kalau kamu nanya kenapa aku baik sama kamu, aku enggak tahu jawaban pastinya. Semuanya kayak reaksi spontan. Satu-satunya jawaban yang bisa aku kasih, Tuhan gerakin hati aku buat lakuin ini. Memang udah rezeki kamu, dititipnya lewat aku.”

Dia mengamini.

“Kayak yang pernah aku bilang waktu kita makan serabi,” sambungku, “tiap kali kamu merasa ada bantuan atau kemudahan, itu satu lagi doa orang tuamu yang dikabulkan Tuhan, yang baru dijawab sekarang.”

Malam itu jalanan terasa lebih sepi daripada biasanya. Orang-orang yang berlalu-lalang juga terlihat lebih sedikit. Kami menepi. Motor berhenti. Dia menatapku. “Makasih banyak-banyak, buat semuanya, buat sebelumnya dan setelahnya.”

Aku mengangguk. “Selamat ulang tahun.”

Senin, 6 November 2023

Dua hari lalu, sore-sore, dia mengirimiku pesan: “Kayaknya Senin hari terakhir aku di kantor.”

“Apa pun pilihanmu semoga itu yang terbaik.”

“Tapi kita harus tetep wujudin bolos buat jalan-jalan. Ke Lembang atau ke mana gitu.”

Aku tertawa. “Kan, kamu Senin hari terakhir. Kapan bolosnya?”

“Hahaha. Nanti hari libur aja. Sabtu atau Minggu.”

“Laksanakan.”

“Sedih gak? Jujur.”

Aku membeku beberapa menit. Ada banyak hal yang ingin kusampaikan, hanya saja aku tidak tahu bagaimana cara menyampaikannya. Ada banyak hal yang kurasakan, hanya saja aku tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya.

Ini adalah hari terakhir dia di kantor. Pagi-pagi, seperti biasa, dia menceritakan panjang lebar kesedihan-kesedihannya. Lalu kubilang, “Iya, nangis aja gak apa-apa. Nanti siang kita ke Mixue.” Siangnya, di teras lantai paling atas, dia menceritakan ulang rencana-rencananya. Dan sekali lagi, aku hanya bisa mendoakan semua yang terbaik untuknya.

Pukul dua siang aku menghilang dari ruangan. Lima belas menit setelahnya dia mengirimiku pesan.

“Ke mana?”

“Ruang meeting.”

“Nanti ashar ke masjid?”

“Enggak kayaknya. Masih meeting. Kenapa?”

“Gak apa-apa.”

“Pasti mau bakso tahu.”

“Hahaha.”

“Aku udah bilang makan dulu sebelum Mixue.”

“Pulang kerja sibuk?”

Dia minta diantar beli kebaya dan kemeja putih untuk keperluannya besok. Jadi kami pergi ke Bandung Indah Plaza, mencoba mencari barang yang dia mau. Belum ketemu, kami malah masuk ke toko pernak-pernik karena dia bilang mau beli cermin baru.

“Bagusan ini atau ini?”

Keduanya tampak sama bagiku. “Sama aja.”

“Ih, yang mana?”

Ada satu hal yang kusadari berbeda. Hari itu dia menjadi sedikit lebih ekspresif, jadi aku mengggodanya. “Marah-marah mulu. Kenapa? Lapar? Aku liat kamu di kantor kalau ngobrol sama orang lain kayaknya ramah-ramah aja.”

“Hah? Hahaha. Soalnya kalau sama yang lain belum dekat. Jadi masih jaga image. Kalau ke kamu udah kayak ke kakak sendiri.”

“Berarti kamu sering sewot ke adik kamu?”

“Hahaha.”

“Aku lapar.”

Kami ke lantai paling atas. Aku mengajaknya keliling Foodcourt untuk mencari-cari makanan apa yang enak. Sempat mau memilih Steak karena aku pernah bilang ada jenis Steak yang harus dia coba, tapi kemudian aku memilih ayam bakar karena ingat selera dia agak eksentrik (ditanya lebih suka soto atau sate malah jawab bubur, ditanya apakah suka ayam balado malah jawab kol goreng).

Kami berdiri di depan stan ayam bakar. Saat kurusuh pilih mau menu apa, dia melihat daftar makanan yang paling murah. Dan aku baru sadar dia selalu melakukan itu. Dia akan selalu memilih menu biasa, atau kalaupun mau yang agak mahal, dia akan pilih yang harganya tidak lebih mahal dari pilihanku. Menyadari itu aku langsung menunjuk daftar paling atas. “Menu spesialnya di sini. Pilih yang ada di sini.” Karena aku tahu ini hari terakhir aku mentraktir dia.

BIP - 6 November 2023

Pada akhirnya kami tidak menemukan barang yang dia cari di sini. Kami beralih ke ruko-ruko pinggir jalan di Sukajadi, karena seingatku di sana ada banyak toko baju. Malam itu rasanya jadi malam terpanjang buat kami. Berkeliling sampai jalanan terasa lebih sunyi.

“Kamu suka pindah-pindah tempat duduk, kan?” katanya.

“Kenapa?”

“Mulai besok duduknya di meja aku.”

Aku mengangguk. Dan aku benar-benar duduk di mejanya sejak itu. Sudah dua minggu lebih aku duduk di mejanya. Komputernya mulai terasa lelet, jadi aku berencana menghapus berkas-berkas yang sudah tidak digunakan. Saat memilah folder, aku menemukan semua foto-foto lamanya yang dia simpan, dan aku baru tahu ternyata dia tidak pernah pindah meja. Dia di sini sejak awal masuk kantor ini. Sekarang aku mengerti kenapa dia memintaku duduk di mejanya.

Selasa, 5 Desember 2023

Sudah satu bulan berlalu. Per hari ini timku dipindahkan lagi ke ruangan lama kami, gedung B lantai dua. Aku kembali duduk di meja lamaku. Rasanya seperti pulang setelah berjalan jauh, atau kembali memulai di titik nol tapi punya banyak bekal dari suatu perjalanan.

Di sebelahku adalah meja Akbar. Di sebelah Akbar ada meja Dani, junior kami yang masuk dua bulan lalu. Di belakangku ada Arini, Rere, dan Rahayu. Di paling belakang ada Agni dan Erlan, dua orang yang sedari awal aku masuk kantor ini selalu ingin aku kejar. Di sebelah Erlan ada Aden, pemain lama dari tim lain yang masuk timku bulan lalu.

Tidak banyak yang berubah. Aku bekerja seperti biasa, merokok dan minum kopi bersama Ibu Jenderal seperti biasa, banyak bersenda gurau pada waktu kerja seperti biasa. Satu perubahan signifikan hanyalah, sejak hari itu, aku mulai jarang makan siang di luar. Kadang aku bawa bekal dari rumah, kadang beli di luar tapi memakannya di kantor. Kadang juga aku hanya sarapan dan makan sore di rumah, siangnya hanya merokok di dekat garasi.

Belakangan ini aku mulai sering melihat konten yang membahas Bitcoin. Beberapa orang terdekatku bilang Bitcoin adalah aset masa depan. Selain bisa digunakan sebagai alat investasi seperti emas, itu juga bisa jadi alat tukar, semacam pengganti uang pada era yang lebih modern, dan blablabla dan blablabla. Jujur saja aku belum tertarik soal itu, tapi aku sangat tertarik saat membaca paragraf ini:

“Bitcoin seringkali dianggap sebagai jaringan pembayaran anonim. Padahal sesungguhnya, Bitcoin bisa jadi merupakan jaringan pembayaran yang paling transparan di dunia. Semua transaksi Bitcoin bersifat publik, dapat dilacak, dan secara permanen disimpan dalam jaringan Bitcoin.” (Sumber: bitcoin.org)

Itu membuatku berpikir bahwa cara kerjanya agak mirip dengan manusia. Kita mungkin berpikir, mayoritas pertemuan yang terjadi di hidup kita hanyalah sebuah kebetulan. Setiap orang asing adalah anonim. Tapi bagaimana jika setiap orang di dunia ini seperti Bitcoin? Dan setiap pertemuan adalah transaksi. Itu tercatat secara permanen dalam satu jaringan besar yang disebut takdir. Dan tiap-tiap dari kita memiliki akses ke satu jaringan kecil pribadi seperti e-wallet yang disebut memori.

Alasan aku dipindahkan dari B2 ke D1 bukan semata-mata “ada anak di D1 yang sering tidur menahan lapar saat jam istirahat, turunlah ke sana untuk berbagai rezeki dengannya”. Karena dari sudut pandang ini di sisi yang lain hanya “jangan resign sekarang, tunggu tiga bulan lagi karena ada anak yang akan rutin mengajakmu makan”. Pindahnya aku ke D1, atau tertahannya dia untuk resign, pertemuan kami, adalah “transaksi” semesta. Kami saling tukar banyak hal satu sama lain. Itu bisa jadi kebahagiaan, kesedihan, harapan, semangat, motivasi, pelajaran hidup, apa pun.

Pada awalnya aku selalu mengira, semua hal yang kulakukan untuknya hanyalah altruistik. Ibuku selalu mengingatkanku untuk berusaha menjadi orang baik, maka kapan pun ada kesempatan, aku mencoba menerapkannya. Tapi sekarang aku mengerti, sekalipun motifnya memang altruistik, semesta akan membayarnya dengan hal yang sepadan. Aku menyadari ini pada hari aku duduk di garasi, merokok sendirian, dan pikiranku spontan mengatakan, “Oh, ini ya, alasan kenapa aku ketemu Rain.”

Hai, terima kasih sudah membaca

Anjing Paling Mungil Menyalak Paling Bising

Jika kamu menyukai tulisan-tulisan saya, saya punya buku digital kumpulan cerita pendek yang mungkin kamu juga akan suka.

Bisa dibeli di KaryaKarsa dan SociaBuzz.

Terima kata, terima kasih

Setiap komentar yang dikirim akan masuk ke surel saya dan tidak ditampilkan di sini. Sila berkomentar sebebas-bebasnya.