Aku Enggak Tahu Apa Itu Cinta

Gigip AndreasGigip Andreas / Tukar Pikiran · 8 menit dibaca

Bayangkan seorang gadis sedang duduk sendirian di halte, barangkali menunggu bus untuk membawanya ke pemberhentian berikutnya. Dia terlihat sedang memegang sebuah buku tetapi tidak membacanya. Di sampingnya tergeletak sebuah tas, kopi kemasan, dan satu kotak cukup besar berbalut kertas kado.

Aku kebetulan mau naik bus juga. Jadi kubilang permisi, boleh aku duduk di sini? dan dia jawab boleh. Lalu karena aku tidak mau kami terlihat seperti orang pacaran yang sedang berantem, aku memberanikan diri buat membuka obrolan. Setelah berbincang sebentar, aku baru sadar ternyata gadis ini adalah Afrianti Eka Pratiwi, salah satu bloger yang gemar menulis fiksi bertema cinta.

Jika kamu pernah membaca tulisan-tulisan Tiwi (begitulah dia akrab disapa), kamu mungkin sadar tulisannya sering kali meninggalkan tanda tanya. Itulah alasan utama kenapa aku senang membaca tulisan-tulisannya.

Aku selalu penasaran dengan orang yang gelisah. Kupikir kepala mereka berisik, tetapi kau harus mengoreknya pelan-pelan agar bisa mendengar jeritan-jeritan mereka. Dan sepakat dengan Oscar Wilde, kau harus membuat mereka tertawa atau jika tidak, mereka akan membunuhmu.

Sambil menunggu bus, karena tampaknya kami masih punya sedikit waktu, aku memberi Tiwi beberapa pertanyaan. Jadi inilah rekaman obrolan singkat kami.


Apakah kamu suka menunggu?

Aku selalu punya dua jawaban dalam hal menunggu. Tentu dengan konteks yang berbeda pula. Aku bisa bilang, aku suka menunggu sekaligus tidak suka.

Menunggu itu melelahkan, tapi di sisi lain juga bisa menyenangkan. Kalau ibaratnya kayak menunggu bus—karena belakangan aku selalu naik Transjakarta—aku akan melakukannya sesuai berapa waktu yang aku punya. Kalau waktuku masih banyak, aku enggak segan buat menunggu bus yang agak kosong agar bisa duduk, tapi kalau aku lagi buru-buru, bus penuh pun aku akan tetap masuk.

Nah, beda lagi kalau soal menunggu seseorang. Aku termasuk tipe yang setia menunggu orang dalam hitungan tahun—bahkan untuk sesuatu yang belum jelas aku tahu akan seperti apa.

Jawaban ini cukup menjelaskan enggak, ya? Karena aku bisa menyukai suatu kegiatan, tapi di sisi lain bisa tidak menyukainya.

Cukup menjelaskan. Dan menarik. Kamu tipe yang susah move on dari mantan?

Hahaha. Pertanyaannya langsung menohok ya Anda. Susah move on dari mantan itu pasti. Hahaha. Aku bukan orang yang gampang lupa dan gampang untuk melepaskan. Berlaku untuk mantan pacar bahkan mantan gebetan.

Bagus. Pertanyaannya, kamu selalu ingat karena kamu menulis atau kamu menulis karena kamu selalu ingat?

Aku menulis karena aku selalu ingat. Anggaplah aku baru saja putus dengan pacarku. Dalan kurun waktu sebulan, dua bulan, sampai setahun, aku masih akan tetap ingat banyak momen yang kulalui dengannya. Ingatan-ingatan itu kadang berhenti di sana, berputar, dan membuatku sedih terus-menerus karena tidak bisa lagi mengulangi bersama orang yang sama.

Dengan segala ingatan yang sangat ingin kubuang agar pikiranku tidak penuh, makanya aku menulis. Bagiku, menulis seperti proses penyembuhan sekaligus tempat penyimpanan memori paling abadi ketika aku sudah mulai lupa nantinya. Karena ketika aku menulis sekarang dengan rasa sakit dan tangisan, aku bisa saja membaca tulisan yang sama di 10 tahun ke depan hanya dengan tertawa dan berkata, “Oh aku pernah begini, ya? Norak sekali.”

Bisa dibilang menulis itu semacam terapi buatmu? Termasuk ketika menulis cerpen dan puisi? Atau hanya jurnal?

All of them. Karena ketika dalam masa-masa sedih itu, menulis apa pun bentuknya akan tetap sama rasanya. Jadi, aku menulis enggak terbatas hanya pada menulis jurnal. Beberapa masuk ke puisi untuk yang lebih singkat, dan ke cerpen untuk sebagian cerita yang ingin kufiksikan.

Dalam cerpen-cerpenmu, aku menemukan tokoh utamamu hampir semuanya perempuan. Apakah kamu menulisnya secara sadar?

Yes. Aku membuatnya seperti itu. Dengan sengaja. Karena kupikir, lebih mudah memahaminya dari perspektif perempuan, dan memang jujur saja aku menaruh perspektifku di sana. Aku agak kesulitan menulis dengan sudut pandang laki-laki karena aku enggak tahu apa yang sebenarnya bisa mereka pikirkan.

Aku juga merasa tulisanmu feminin sekali. Meskipun apa dan yang mana itu maskulin atau feminin bisa kita perdebatkan. Siapa penulis favoritmu?

Hahaha. Anggaplah tulisanku memang sangat perempuan sekali. Penggunaan perasaannya lebih banyak daripada logika. Entah ya.

Penulis favorit? Duh, karena sudah hampir tiga bulan baca buku enggak pernah selesai, dan aku enggak pernah yang seniat itu menobatkan seorang penulis menjadi favoritku bisa dibilang aku enggak punya. Tapi kalau penulis kesukaan, tentu bisa berubah-ubah sesuai waktu. Kalau sekarang lagi suka sama Lala Bohang.

Kamu pernah mengklaim kamu orang yang tekstual. Ada faktor masa kecil yang membuatmu jadi tekstual? Misalnya, banyak dilarang atau sering diremehkan.

Kalau disuruh bicara atau menulis, aku tentu akan lebih memilih menulis. Jadi konteks tekstual di sini lebih kepada menyuarakan isi pikiran dan pendapatku, sih.

Kalau faktor masa kecil, aku sendiri enggak ingat. Yang jelas, sedari kecil aku susah menyuarakan apa yang aku mau, mungkin lebih karena didikte harus ini dan itu. Jadi aku enggak bebas untuk mengekspresikan apa yang aku mau karena batasannya terlalu ketat.

Apa itu berdampak ke caramu sekarang menjalin sebuah hubungan? Kamu cenderung lebih suka diatur atau mengatur?

Aku jadi cenderung takut untuk bilang apa yang sebenarnya aku rasakan. Walaupun, sekarang aku sudah lebih terbuka dan berusaha mengubah sikapku yang demikian.

Kalau soal pertanyaan yang kedua itu, aku masih cenderung lebih suka diatur. Karena aku susah menerima penolakan. Aku enggak tahu, ya, ini ada hubungannya atau enggak. Tapi ketika aku memutuskan untuk “mengatur” sesuatu dalam sebuah hubungan dan pasanganku tidak bersedia, aku akan defensif.

Akan beda cerita kalau semisal, pasanganku memberiku aturan, lalu aku akan memikirkannya dulu untuk bisa setuju atau tidak. Di situlah aku baru akan memberikan penawaran.

Tapi aku memang bukan orang yang dominan, sih.

Yang menarik adalah kamu menyadari kalimat terakhirmu. Kamu merasa dirimu gampang disetir?

Betul. Aku sadar aku gampang sekali disetir ketika aku sudah sangat percaya dengan seseorang. Termasuk ketika aku menjalin hubungan.

Umur berapa kamu bertemu seseorang yang kamu pikir itu adalah cinta pertamamu?

Hahaha. Lupa. Tapi kupikir itu di usia 19? Aku terlalu mudah suka sama orang. Tapi untuk yang benar-benar kupikirkan secara tulus soal cinta pertama kayaknya ya di usia 19 itu, deh.

Aku ingin dengar cerita pengalaman paling indah yang pernah kamu alami bersama kekasihmu.

Enggak ada yang lebih indah bagiku selain kekasihku datang dan mengutarakan niatnya untuk serius denganku kepada ayah dan ibuku.

Sekarang pengalaman yang paling berengsek.

Hahahaha. Duh, aku merasa terjebak untuk menceritakan ini. Aku orangnya pendendam, jadi biar saja kalau dianggap belum ikhlas atas kejadian berengsek yang pernah kualami.

Enggak ada hal yang lebih berengsek daripada saat kamu cemburu sama mantan pacar kekasihmu, tetapi kekasihmu malah bilang, “We’re still nothing and you’re hurt. How about her (his ex girlfriend)?

Sungguh, aku merasa enggak dianggap sebagai apa pun saat itu. Hahaha.

Apa pandanganmu tentang seks bebas?

Terserah. Asal dengan consent. Dan itu bukan urusanku untuk mengurusi ranjang orang lain.

Apakah dunia seks adalah dunia yang privasi buatmu?

Absolutely.

Satu lagi soal seks. Aku punya teman seorang sapiosexual. Aku sendiri demisexual. Apakah kamu tahu orientasi seksualmu?

Sejujurnya aku enggak tahu. Mungkin belum pernah cari tahu juga, sih. Jadi aku belum bisa jawab karena aku belum tahu ada berapa banyak orientasi seksual dan apa ciri-ciri yang mendekati orientasiku.

Anggap ini kuis: katakanlah kamu sudah berpasangan tapi kamu punya perasaan pada orang lain. Apakah perasaan itu salah?

Hahaha. Aku akan bilang enggak salah. Tentu dengan catatan: asal tidak diteruskan dan ditindaklanjuti ke dalam perilaku/aksi. Karena perasaan itu, kan, bisa datang kapan saja, tapi kalau sudah masuk ke tindakan, kita sepenuhnya sadar untuk mencegah itu terjadi.

Kamu pernah ada di posisi itu?

Pernah.

Aku juga pernah, jadi orang ketiganya. Sepanjang menyimak jawaban-jawabanmu, rasanya aku mulai paham kenapa cerpen dan puisimu banyak bertema cinta. Nah, menurutmu, cinta itu apa?

Ampun. Ini pertanyaan pamungkas, ya? Satu kata yang sulit kujawab bahkan dengan deskripsi sekalipun.

Aku enggak tahu apa itu cinta, tapi aku akan mendefinisikannya dengan sebuah bentuk komitmen yang ketika aku menjalaninya, aku akan merasa sesuatu yang kusebut spark, atau getaran halus yang stabil.

Sumpah, aku enggak tahu apa itu cinta.

Perbedaan cinta dengan sayang?

Asli aku enggak tahu perbedaannya apa. Boleh Google enggak? Hahaha.

Oke, bagiku perbedaannya terletak ke objeknya, sih. Sayang itu kayak ke keluarga, teman, benda juga bisa. Kalau cinta itu ke ... uang! Hahaha, enggak, deng. Kalau cinta bagiku lebih ke seseorang yang spesial?

Makin ke sini aku makin enggak berani bilang kalau aku cinta sama seseorang. Mungkin belum ketemu saja, sih, yang bisa bikin aku sampai bilang kalau aku cinta sama dia.

Jadi bagaimana caramu menyatakan perasaan pada kekasihmu yang sekarang?

Dengan berkata, “Masbro, makan sate yuk besok!” Hahaha.

Lain kali aku harus coba cara itu. Omong-omong, busku sudah datang. Punyamu sepertinya belum. Aku duluan, ya. Senang mengobrol denganmu. Terima kasih, Tiwi!

Siap, terima kasih juga sudah menemaniku menunggu bus, Gigip. Hati-hati di jalan!


Jika kamu sedang butuh kaus, beli jualan Tiwi di Instagram @narada.apparel atau jika kamu hanya ingin membaca, tulisan-tulisan Tiwi bisa dibaca di afriantipratiwi.com.

Hai, terima kasih sudah membaca

Anjing Paling Mungil Menyalak Paling Bising

Jika kamu menyukai tulisan-tulisan saya, saya punya buku digital kumpulan cerita pendek yang mungkin kamu juga akan suka.

Bisa dibeli di KaryaKarsa dan SociaBuzz.

Terima kata, terima kasih

Setiap komentar yang dikirim akan masuk ke surel saya dan tidak ditampilkan di sini. Sila berkomentar sebebas-bebasnya.