Aku Takut

dan Masih Selalu Takut

Gigip AndreasGigip Andreas / Jurnal · 13 menit dibaca

Lulus dari SMK, bersama tiga orang kawan, aku pernah mencoba mencari peruntungan di web. Kami semua lulusan kejuruan Analisis Kimia. Tak satu pun dari kami bisa menulis program. Hanya aku dan satu orang yang punya pengalaman dengan HTML dan CSS, tapi kami tidak pernah menulis JavaScript ataupun PHP. Berhubung saat itu kami masih bocah ingusan yang dipenuhi jiwa petualang, kami nekat mengambil WordPress dan, bermodalkan tutorial di internet, ternyata itu adalah taruhan paling ceroboh yang pernah kami buat dalam bisnis.

Proyek tidak berhasil.

Uang kami juga tidak kembali.

Aku takut menghadapi WordPress lagi.

Aku pikir, saat itu, WordPress adalah hal terakhir yang akan membuatku takut. Tapi semesta punya cerita lain.

Bertahun-tahun kemudian aku melihat React dan itu membuatku merinding. Aku harus terhubung ke MySQL lewat Node.js dan itu membuatku berkeringat. Baris perintah adalah kotak sulap yang membuatku takut mengalami kebotakan sejak dini.

git add .
git commit -m "initial commit"
git push origin main

Kali pertama menjalankan perintah di atas, butuh waktu tiga jam bagiku untuk tahu mengapa itu mendadak berhasil. Dan itu agak misteri, jujur saja. Berinteraksi dengan komputer lewat baris perintah rasanya seperti belajar bahasa Korea untuk memesan donat di Starbucks cabang Seoul.

Aku ingin tombol. Aku ingin menekan klik. Baris kosong yang memintaku menebak-nebak apa yang harus aku tulis sangat mengerikan. Bagaimana jika perintah yang salah akan mengubah komputerku jadi Terminator? Apakah itu berisiko bootloop? (Jawabannya adalah iya. Aku sudah dua kali membuat komputerku mati.)

Lucunya, hanya karena aku “orang yang menulis program” di mata teman dan keluarga, mereka sering mengira aku tahu lebih banyak daripada yang sebenarnya. Mereka berharap aku bisa meretas Facebook atau membajak WiFi atau melacak ponsel yang hilang hanya dengan nomor seluler.

Dengar, melacak sesuatu hanya lewat nomor itu keahliannya Deddy Corbuzier, sementara aku bahkan tidak tahu cara menginstal ulang Windows.


Menulis juga menakutkan. Terutama menulis untuk manusia. Kenapa pemrogram C++ paling lihai sekali pun sering payah dalam README? Karena jauh lebih mudah menulis 50.000 baris kode yang bekerja daripada menulis panduan 500 kata yang bisa dipahami manusia.

Aturan desain perangkat lunak:

  • Pengguna tidak membaca buku manual karena mereka tidak bisa membaca.
  • Faktanya, kalaupun mereka bisa membaca, mereka tidak mau.

Maksudku, kebanyakan orang hanya membaca buku manual ketika pertama kali dibelikan ponsel baru saat mereka duduk di bangku SMP. Setelah itu mereka akan mengabaikan buku manual, tak peduli apakah mereka tahu atau tidak cara mengoperasikan ponsel barunya. Mereka akan merasa tahu.

Itulah kenapa produk yang baik pasti punya pesan yang lugas. Mereka singkat, padat, dan jelas.

Jika kamu menyadari itu, prosa yang bagus juga bisa dibuat dengan pola pikir yang sama. Penulisnya berasumsi pembaca tidak tahu apa-apa. Dengan cara itulah seorang penulis bisa membuat artikel yang keren; ia menjelaskan apa, kenapa, dan bagaimana. Dan itu juga bisa untuk cerpen. Ini saran dari Kurt Vonnegut:

“Persetan dengan ketegangan. Berikan pembacamu informasi sebanyak mungkin secepat mungkin. Pembacamu harus tahu cerita ini tentang apa, siapa, kapan, di mana, agar mereka bisa segera menyelesaikan ceritamu. Jaga-jaga jika halaman terakhirmu dimakan kecoa.”

Oke, jadi kita hanya perlu menghindari menulis yang bertele-tele dan langsung pada intinya. Terus?

Ya, kedengarannya mudah, tapi meski aku tahu hal-hal semacam itu, aku tetap takut setiap kali melihat layar putih kosong. Aku takut ketika kata-kataku macet. Mejaku berderit setiap kali aku membuat README. Apa yang harus aku tulis? Apakah kata-kataku sudah jelas? Apakah ada cara lain untuk menyampaikannya dengan lebih baik? Mendadak aku jadi George Orwell.

Aku takut ketika hendak membalas surel. Aku takut menulis komentar ketika akan membuka Pull Request. Aku sumpah-sangat-takut-setengah-mati ketika akan melempar Anjing Paling Mungil Menyalak Paling Bising ke KaryaKarsa.

Itu adalah ebook kumpulan cerita pendek berbayar pertama kami. Mengetahui aku akan menjual tulisan ke orang asing yang bahkan tidak mengenalku membuatku ingin mundur. Lagi pula, siapa yang mau mengeluarkan uang untuk sesuatu yang entah apa dari seseorang yang juga entah siapa?


Berkomunikasi dengan manusia adalah salah satu sumber ketakutan terbesarku.

Aku takut berorganisasi. Terutama jika aku diposisikan sebagai pemimpin. Waktu kelas dua SMK, karena dipaksa masuk OSIS, dalam satu acara aku ditunjuk sebagai Koordinator Lapangan. Secara konsep tugasku mudah: aku hanya perlu mengatur anak-anak bandel yang suka mendengarkan lagu-lagu punk dan terobsesi dengan rambut neon menyala untuk menjadi sopan sehari saja. Tapi pada praktiknya tidak sesederhana itu.

Apa yang membuatnya susah?

Ego.

Mengetahui bahwa aku punya otoritas penuh untuk menindak dan menghakimi orang membuatku lupa daratan. Aku bertengkar dengan dua teman sekelasku sendiri. Aku merasa punya jabatan tinggi dan bisa menunjuk hidung mereka. Hari itu nyaris ada baku hantam. Rasanya memalukan.

Menyatakan cinta juga selalu menantang. Aku punya belasan mantan—bukti bahwa aku sering gagal. Dan dari semua itu, aku hanya pernah dua kali mengatakan cinta secara tatap muka. Sisanya lewat teks atau telepon, beberapa bahkan pacaran jarak jauh dan belum pernah bersemuka.

Trivia: cinta monyet pertamaku terjadi ketika aku kelas tiga SMP. Aku pacaran dengan adik kelas. Kami jadian lewat SMS dan baru pacaran tiga hari. Ceritanya, hari itu kami akan nonton bioskop sepulang sekolah, jadi kami janjian bertemu di gerbang. Punchline? Saat aku melihatnya berdiri di gerbang, aku malah melewatinya. Ya, pemirsa, aku bahkan tidak berani menyapa pacarku sendiri. Pada akhirnya dia yang menghampiriku dan menarik tanganku. Dan sepanjang duduk di bioskop kami tidak banyak mengobrol. Duduk sebelahan dengan gadis yang aku tahu “dia pacarku” membuatku mati gaya.


Daftar ketakutanku masih banyak, tapi inilah yang ingin kusampaikan:

Pernah mencoba nekat membuat web dengan WordPress memberiku pelajaran penting yang tidak akan kudapatkan jika aku hanya menonton tutorial. Jika menyimak panduan membuatku tahu bagaimana cara kerjanya, terjun langsung membuatku tahu bagaimana itu tidak bekerja.

Maanfaat dari sisi ego: saat blogmu mendapat pembaruan dan perilakunya tiba-tiba berbeda dari kebiasaan, kamu tahu cara memperbaikinya. Jika kamu tahu 100 cara untuk membuat blogmu meledak, secara teori, kamu bisa melakukan apa pun sesukamu, karena yang harus kamu lakukan hanyalah menghindari yang 100 cara itu.

Manfaat dari sisi margin: saat perilaku yang menyebalkan itu terjadi pada orang lain, dan dia tahu kamu bisa memperbaikinya, kamu mungkin punya kesempatan mendapat upah. Memperbaiki situs web WordPress yang rusak memang kadang semudah menekan sakelar, dan tak jarang prosesnya cuma 15 menit. Itu murah. Yang mahal adalah tahu sakelar mana yang harus ditekan.

Proyek webku yang lampau itu memang gagal, tapi berkat itu, bertahun-tahun kemudian aku bisa duduk di kursi pemimpin redaksi koran lokal yang webnya mendadak meniru lukisan Picaso. Itu milik kenalan temanku yang dahulu ikut gagal bersamaku. Dia tahu aku sedikit gatal dan bereksperimen sejak saat itu, jadi dia menyarankanku pada kenalannya. Web mereka dibuat dengan website builder dari layanan hos dan biaya perbaikannya lumayan. Tapi yang membuat mereka jengkel adalah mereka bahkan tidak tahu apa masalahnya. Jadi hari itu kuberi tahu tombol mana yang mereka sering salah tekan. Rasanya cukup menyenangkan ketika menerima beberapa lembar dan kopi gratis, hanya untuk menekan sakelar.

Jadi jika kamu sedang berhadapan dengan banyak keputusan dan sangat merasa takut, tarik saja tuasnya. Tekan sakelar itu dan lihat apa yang terjadi.


Aku melempar Anjing Paling Mungil Menyalak Paling Bising tanggal 30 April 2022. Penjualan terakhir (maksudnya terakhir kali ada yang membeli saat aku menulis ini) adalah 16 Juni 2022. Jadi biar gampang anggap saja jualannya satu bulan setengah. Nah, berapa penghasilannya? Rp275.000 (belum dipotong pajak).

Sebagai seseorang yang bahkan rekam jejak di bidang kepenulisannya tidak jelas, berhasil mendapatkan Rp275.000 itu menurutku besar. Dan aku harus bilang, dari 7 orang yang membeli cerpenku, 5 di antaranya adalah temanku sendiri. Dan itu kabar baik.

Aku beruntung karena di awal karierku sebagai tukang jualan cerpen, pembeli pertamaku adalah teman-temanku sendiri. Satu di antara mereka bahkan sangat epik. Aku tahu dia sibuk, sangat sibuk malah (dia editor jurnal ilmiah dan penerjemah lepas), dan saat itu dia baru pulang dari rumah sakit. Tapi dia menyempatkan diri untuk mengulas cerpenku dan mengirimnya pukul setengah tiga dini hari. Dia bahkan mendengarkan semua lagu pengiring yang kusisip saat mengabarkan peluncuran cerpen lewat buletin. Dan dia mengkritik lagu pilihanku, sampai-sampai dia mau repot membuat playlist lagu pengiring versi dirinya sendiri.

Omong-omong, dua bulan lalu, pukul setengah sepuluh malam, aku mendapat surel dari seseorang yang dia kirim via kolom komentar. Isinya:

“Halo Gigip, haha sok akrab bener. Ini komenan pertama setelah baca tulisanmu dari tahun 2019 lalu, dunno why ngga berani komentar dari dulu, karena saya kurang nyaman dikunjungi balik oleh blogger ketika meninggalkan jejak di blog mereka.

To be completely honest, saya senang kamu update tulisan lagi setelah lama tidak, dulu sempat bolak balik ke sini, tapi gapernah ada tulisan baru, sempat buka Medium juga kali aja ada tulisan di sana tapi ga ada haha, suka sekali dengan tulisanmu really, terutama Kukila nya Aan Mansyur di Medium, itu kereen (menurut saya). Kamu detail dan unik dalam menjabarkan sesuatu.

Semoga ke depannya tetap upadate ya, kalau ga update juga gapapa. Its up to you. Dadaaah.”

Aku sudah berutang beberapa pekan padanya sejak membalas surel itu—maaf!

Tapi begini, buatku, blog tidak pernah menjadi proyek atau sesuatu yang serius. Aku selalu melihatnya sebagai murni hobi, makanya aku sering angin-anginan dan tema tulisanku sangat acak. Tapi menyenangkan sekali ketika aku tahu bahwa di luar sana ada orang yang membaca tulisanku, bahkan menantikan tulisanku. Lebih-lebih, bagiku ini agak seperti sihir, siapa yang menduga seseorang di ujung sana yang bahkan aku baru pertama kali mendengar namanya, ternyata sudah membaca tulisanku sejak 2019, padahal aku selalu takut menulis?

Jika kamu sedang ingin membuat sesuatu tapi merasa takut, atau gugup karena tidak yakin apakah hal yang kamu buat akan disambut dengan baik, injak saja pedalnya. Kirimkan itu dan lihat apa yang akan terjadi.


Aku pernah bekerja di layanan antar barang. Kerja mulai pukul tujuh malam, pulang pukul enam pagi. Sebenarnya, jam kerjaku sedikit, yang membuatnya menjadi mirip abang warnet adalah cuma ada dua shift di sana, karena cabangnya baru dibuka dan pekerjanya masih sedikit. Jadi meskipun pekerjaan sudah selesai pukul dua malam, jam pulang tetap pukul enam pagi. (Singkatnya aku lebih banyak main Shopee Candy dan nonton anime daripada kerja.)

Meski jam kerjanya terlihat seperti romusa pada zaman Romawi Kuno, jujur saja itu salah satu tempat kerja yang menyenangkan. Rasanya bahkan tidak seperti bekerja. Mungkin lebih cocok disebut “menyortir dan menjaga barang milik orang agar tidak dimaling”. Ya, cuma itu. Tidak semengerikan menjadi karyawan gudang di kamu-tahulah-tempat-itu.

Salah satu rekan kerjaku mantan karyawan di kamu-tahulah-tempat-itu dan kamu tahu apa pekerjaannya? Memanggul tiga lusin karung yang beratnya akan membuat tulang-tulangmu sedih karena sejak kecil kamu bandel selalu ogah minum vitamin yang mengandung kalsium. Di tempatku, apa yang kami lakukan adalah memindai karung yang datang, membukanya, memisahkan barang-barang per kelurahan agar memudahkan kurir, dan selesai. Sisanya main Mobile Legends. Atau mampir ke warung kopi di seberang sambil membahas Jokowi agar terlihat seperti kaum buruh melek politik.

Ada dua hal yang membuat tempat kerja ini menyenangkan.

Pertama, tidak ada senioritas. Tentu saja di sini ada senior, tapi tidak ada satu pun yang kelakuannya seperti mahasiswa sialan sok iye yang kerap kamu temui di kampus. Persetan senior atau junior, semua orang mengangkut karung yang sama (kecuali perempuan, tentu saja), menyortir barang yang sama, istirahat makan bersama, punya jam tidur yang sama.

Itu, sejujurnya, bukan sistem yang terlalu baik, tapi karena tempat kami masih baru dan barang yang datang belum segila pusat, sistem ini efektif untuk menciptakan suasana kekeluargaan. Kami bahkan tidak suka jika ada perokok yang tidak merokok hanya karena uangnya habis akibat baru bayar indekos. Rokok disimpan di meja. Tidak perlu takut dicuri. Kalau habis tinggal kasbon lagi ke sebelah.

Kedua, dan ini yang penting, kadang-kadang sopir truk datang seenak udel. Dan sialnya mereka gonti-ganti sehingga sulit untuk memasukkan mereka ke grup WhatsApp. Beberapa di antara kami sering keburu mengantuk dan tidak kuat menanti si sopir. Jadi kadang-kadang, kami tiduran sambil mendengarkan musik, sampai akhirnya ketiduran. Lalu sopir truk sialan itu datang. Truk berisi karung-karung untuk diangkut. Dalam situasi ini, logisnya, kamu akan membangunkan rekanmu yang tidur karena itu adil. Benar, kan?

Mungkin. Itu jika kamu sepakat sistem kerja harus dipandang sebagai kompetisi. Kami melihatnya sebagai kooperasi. Tidak apa-apa jika mereka ketiduran, karena toh, kita tidak tahu bagaimana kehidupan mereka di rumah. Mungkin anak itu sering bantu-bantu ibunya pada siang hari sehingga dia kelelahan jika begadang. Mungkin yang satu itu sudah punya keluarga dan anaknya baru tiga tahun, jadi kadang-kadang tidurnya terganggu saat di rumah. Mungkin mbak-mbak yang itu kebanyakan nonton drama Korea dan sedang bertemu idolanya di alam mimpi.

Membiarkan mereka menikmati waktu istirahatnya memang tidak akan membuatku mendapat bonus hanya karena aku jadi lebih getol, tapi ya memang kenapa? Dan apa salahnya? Lagi pula itu tidak merugikanku. Itu bahkan tidak merugikan siapa-siapa. Itu malah membuat rekan kerjaku nyaman, yang pada gilirannya, akan membuat mereka berusaha membuatku juga nyaman.

Aku belajar ini karena pernah bertengkar dengan teman sendiri ketika aku menjadi OSIS di sekolah. Dan aku selalu berusaha menerapkan prinsip yang sama di tempat mana pun aku bekerja, jika memungkinkan.

Jadi jika kamu punya sumber ketakutan yang kamu tahu itu akan membuatmu kacau, kadang-kadang cara terbaik untuk menghadapinya adalah ya, sesederhana dihadapi. Aku tahu kamu bisa. Pakai celana dewasa dan ambil sepatu itu. Pasang taruhanmu, lalu lihatlah apa yang akan terjadi.


Pengalamanku tidak unik. Ada banyak orang di luar sana yang turut mengalaminya. Tapi mungkin bedanya, rasa takut adalah pemicu yang membuatku bertumbuh. Dan siapa tahu itu juga berlaku untukmu.

Saat kamu merasa takut, itu adalah sinyal yang bagus karena itu berarti kamu masih manusia. Kamu masih punya rasa gelisah. Dan kamu masih mencoba memikirkan masa depan. Yang pada akhirnya, itu akan memicu mentalmu untuk menjadi lebih baik dan lebih baik lagi.

Tahukah kamu kenapa ada banyak orang yang suka nonton film horor padahal mereka takut hantu? Salah satunya, karena perasaan setelah menonton itu memberi kepuasan bagi mereka. Ada semacam ilusi yang membuat mereka berpikir “ternyata aku bisa melawan hantu tadi”. Sesuatu yang membuat mereka merasa menang. Sebuah kelegaan yang membuat orang merasa berhasil.

Kabar buruknya, berbeda dari nonton film, momen semacam itu agak sulit dicapai dalam kehidupan, karena seringnya kita terlalu terbawa suasana saat berhadapan dengan rasa takut. Kita khawatir tidak mampu melawan hantu di kehidupan nyata. Berita baiknya adalah ada cara untuk mengakali itu. Dan ternyata sangat mudah: dengan menerima.

Menerima bahwa kita memang manusia biasa yang punya banyak kelemahan. Menerima bahwa pencapaian kita tidak harus diukur dengan kesuksesan orang lain. Menerima bahwa setiap orang punya cerita yang berbeda, masalah yang berbeda, sumber kebahagiaan yang berbeda. Menerima bahwa dirimu adalah, ya, dirimu.

Beberapa waktu yang lalu aku berkenalan dengan Aina Awliya setelah mendengarkan siniarnya di Spotify. Agak minta digampar, kata-katanya di sinar membuat kepalaku kosong dan dadaku mendadak berlubang. Tapi itu juga menyadarkanku untuk tetap berada di jalur. Itu mengingatkanku bahwa aku cuma manusia biasa.

Pesanku cuma satu: jika akhir-akhir ini kamu sedang merasa sedih dan lelah, dan takut yang sampai membuatmu takut untuk hidup, kumohon jangan mati dulu.

Jangan mati dulu. Esok pasti lebih baik.

Hai, terima kasih sudah membaca

Anjing Paling Mungil Menyalak Paling Bising

Jika kamu menyukai tulisan-tulisan saya, saya punya buku digital kumpulan cerita pendek yang mungkin kamu juga akan suka.

Bisa dibeli di KaryaKarsa dan SociaBuzz.

Terima kata, terima kasih

Setiap komentar yang dikirim akan masuk ke surel saya dan tidak ditampilkan di sini. Sila berkomentar sebebas-bebasnya.