Tidak Ada yang Peduli Padamu Setelah Kamu Mati
dan Semesta akan Menghancurkan Dirinya Sendiri
Pernahkah kamu bertanya-tanya seberapa penting kehadiran dirimu bagi orang lain? Aku sering. Aku sering penasaran apakah aku muncul di ingatan seseorang ketika dia mendengarkan sebuah lagu atau mampir ke sebuah kota. Aku penasaran berapa banyak aku menjadi bagian dari cerita seseorang. Aku ingin tahu apakah aku tetap ada di kepala seseorang yang aku sudah lama berhenti berbicara dengannya. Aku ingin tahu berapa kali dalam sehari seseorang mengingatku ketika dia melamun. Aku ingin tahu apakah aku akan tetap diingat setelah mati?
Terkadang, pikiran-pikiran semacam itu membuatku gila. Rasanya seperti jadi mudah gelisah sepanjang waktu, seolah aku sedang menunggu sesuatu yang bahkan aku tak tahu apa yang kutunggu. Dan semuanya jadi lebih menyebalkan setiap kali aku membaca ulang catatan Rex si tukang tidur, sampai-sampai aku mulai sependapat dengannya bahwa kita tidak penting, tidak pernah penting.
Mencari Makna
Banyak orang di usia 23—30 mengalami gejala yang disebut krisis eksistensial. Ini biasanya terjadi setelah kamu lulus kuliah, telah bekerja selama bertahun-tahun di suatu tempat, atau punya impian yang telah kamu kejar sejak lama tapi tidak kunjung tercapai. Kamu mulai bertanya-tanya apakah jalan yang kamu ambil benar, menyesali banyak hal, mendapatkan serangan panik, tegang sepanjang hari, lalu depresi dan insomnia karena terlalu banyak berpikir.
Kuberi tahu, memiliki obsesi untuk meraih sesuatu sebelum menginjak usia tertentu itu wajar. Merasa murung karena tidak berhasil mencapainya juga wajar. Orang-orang menyebutnya Saturn return, kondisi ketika kita mengalami titik balik kedewasaan. Ya, aku pernah berada di titik itu. Aku bahkan merasakan kecemasan yang parah padahal aku merasa orang yang terbilang santai.
2018, kali pertama membaca Melihat Api Bekerja, aku tidak tahu kenapa puisi-puisi di buku itu membuat kepalaku jadi berisik. Setiap usai membaca satu puisi, rasanya seperti aku baru diingatkan seseorang bahwa selama ini aku punya banyak kekeliruan cara pandang atau aku telah telanjur meyakini sesuatu yang salah.
Kau sungai yang memanjang lalu melapang sebagai laut karena khawatir aku jatuh sekali lagi. Kau masa kecil yang sekarang kukenang dengan rasa bersalah dari dekat jendela darurat pesawat terbang.
— Aan Mansyur, “Belajar Berenang”
Itu adalah penutup puisi pertama. Saat membaca itu, aku membayangkan seorang anak yang pernah hanyut di sungai, dan kemudian ia sudah bisa berenang dan bahkan terbang, tapi saat ia melihat ke belakang, ia selalu dihantui penyesalan. Kita semua akrab dengan ini: bertengkar dengan orang tua, tumbuh dewasa, merasa berhasil mencapai sesuatu, ingin bangga, tapi saat mengenang masa kecil, yang kita temui adalah kumpulan lubang yang belum ditambal. (Itu baru dari satu puisi, jadi bayangkan bagaimana bisingnya kepalaku selama menghadapi yang 53 sisanya.)
Seperti kebanyakan orang, aku takut mati, aku pernah sering sibuk memikirkan sisa waktu yang kupunya, dan aku juga bingung apa yang harus aku lakukan dengannya. Sejak kecil kita diajari untuk bertahan hidup, untuk menjaga hal-hal yang berarti bagi kita, untuk menjalani kehidupan sesuai norma-norma. Tapi jika pada akhirnya kita akan mati, dan tidak membawa apa-apa, lalu mengapa dalam hidup ini harus ada sesuatu yang penting?
Jujur saja aku masih belum menemukan jawabannya. Sebisa mungkin aku selalu mencoba menghindari pertanyaan itu dengan menjadi orang yang ambisius, bekerja keras, atau menciptakan sesuatu. Kupikir jika aku melakukan itu, hidupku akan menjadi optimal dan entah bagaimana ceritanya waktuku tidak terbuang percuma, dan aku pun tak perlu memikirkan apakah hidup ini penting atau tidak.
Tapi tentu saja itu tidak mengubah keadaan. Itu malah membuatku lelah dan hilang arah. Aku tetap tidak tahu untuk apa aku melakukan semua hal yang telah kulakukan, dan aku juga tidak tahu apa yang sedang kuperjuangkan. Setiap hari hanya bangun, kerja, tidur, bangun, kerja lagi, tidur, kerja lagi, tidur, kerja lagi. Dan semua itu untuk apa? Hanya demi bertahan hidup? Lalu?
Butuh waktu bertahun-tahun agar sebagian besar kecemasanku menghilang. Ironisnya, hal yang mengobati kecemasanku adalah hal yang menjadi penyebab kecemasan itu sendiri: menyadari bahwa tidak ada yang penting.
Ya, tidak ada yang penting, tapi ini bukan nihilisme. Tergantung perspektif mana yang kamu gunakan untuk melihatnya. Secara negatif, apa pun yang kamu lakukan berarti tidak masalah, jadi kamu juga bisa tidak melakukan apa-apa. Secara positif, apa pun yang kamu lakukan berarti tidak masalah, jadi kamu juga bisa menikmati semuanya. Nah, sisi itulah yang aku ambil. Aku memilih menikmati perjalananku.
Itu tidak sesulit kedengarannya. Itu lebih mudah daripada yang kamu bayangkan. Meskipun, memang, dibutuhkan sedikit pergeseran model mental.
Menciptakan Goresan
Banyak orang punya obsesi yang luhur seperti Steve Jobs (dan pada taraf tertentu, Adolf Hitler). Mereka ingin meninggalkan warisan untuk generasi mendatang, sesuatu seperti menciptakan jejak di dunia atau bahkan mengubah dunia. Hal ini paling kentara terutama di bidang seni, teknologi, ekonomi, dan politik.
Kalau dipikir-pikir, tampaknya itu punya kaitan dengan mencari makna dalam hidup. Sebelum ateisme orang mengenal agama dan sebelum agama, orang mengenal takhayul. Agama dan takhayul memberi makna. Dengan agama, mereka akan ke surga setelah mati, dan dengan takhayul, mereka punya keyakinan supernatural yang akan membawa jiwa mereka ke suatu tempat di entah. Jika kamu tidak percaya keduanya, pilihan terakhir yang paling masuk akal adalah menciptakan goresan.
Goresan apa yang ingin kamu tinggalkan?
Jika kamu pelaku seni sepertiku, kurasa jawaban kita mirip-mirip. Paling minimal ingin diingat dan dikenang orang.
Tapi akankah kita?
Kemungkinannya adalah orang akan melupakanmu dan pencapaianmu setelah satu atau dua generasi.
Bahkan jika kamu berhasil menulis buku yang meledak dan bertahan di pasar selama 10 tahun, kamu cuma satu dari ribuan penulis yang bukunya meledak dan sudah bertahan selama 100 tahun. Dan jika, hanya jika, katakanlah kamu benar-benar menjadi sangat terkenal, kamu mungkin akan tetap dilupakan setelah 100 tahun.
Berapa banyak orang terkenal dari 100 tahun lalu yang masih kamu ingat hari ini?
Ada lebih dari seratus miliar orang yang telah lahir sebelum kita. Berapa banyak yang menjadi tokoh penting? Mungkin ribuan, mungkin sepuluh ribu. Jadi kalau kamu ingin diingat, kira-kira peluangmu adalah 10.000 orang terkenal terdahulu dibagi lebih dari 100 miliar orang yang pernah lahir ditambah 8 miliar orang yang hidup saat ini. Kecil sekali. Itu pun kamu hanya akan dikenang oleh orang-orang yang terjun di bidangmu. Apakah kamu tahu siapa Hypatia atau Ada Lovelace?
Tapi siapalah yang boleh melarang mimpi. Jadi mari kita berandai-andai kamu benar berhasil dan diingat banyak orang. Kamu menjadi salah satu tokoh yang akan dikenang sampai 500 tahun ke depan. Kamu senang? Yang harus kamu ingat, secara biologis, saat itu kamu sudah mati. Lalu bagaimana kamu bisa menikmati semua pencapaianmu, ketika kamu sudah mati?
Biarkan Mengalir
Aku tidak sedang mengajakmu untuk menjadi pesimis. Ini hanya mencoba berpikir realistis karena kita sering mengkhawatirkan hal-hal yang mungkin tidak akan pernah terjadi. Kita sering membikin rumit pikiran kita sendiri.
Di dunia web, saat seseorang baru memulai, kebanyakan orang biasanya merisaukan kasus-kasus yang telalu jauh seperti, “apakah bahasa program yang kami gunakan cukup bagus dalam penyekalaan?” atau “apakah kapasitas hos sekian mampu menopang kebutuhan kami?” dan, nyatanya, sekitar 90% situs web tidak akan pernah mengalami masalah skalabilitas. Kurang lebih serupa dengan kamu diterima kerja di luar kota dan pikiranmu buru-buru berkata, “wah, aku harus segera beli rumah di sana!” padahal kamu bisa sewa indekos.
Baru menulis satu novel dan sudah khawatir “bagaimana jika ada seseorang yang tertarik mengangkat ceritaku menjadi film?” padahal ada yang baca saja belum tentu. Tulis saja dulu ceritamu, rampungkan, dan jangan sibuk memikirkan apa reaksi orang sebelum naskahnya terbit. Kerjakan saja ide-idemu, garap, dan tidak usah mengkhawatirkan hal-hal sebelum proyeknya tuntas.
Jadi, apa yang tersisa jika kamu tidak terlalu percaya agama, tidak percaya takhayul, dan kamu mulai menyadari kecil kemungkinan kamu akan diingat orang setelah mati?
Jalani saja hidupmu, nikmati, dan biarkan semuanya mengalir tanpa perlu merisaukan berbagai kecemasan yang mungkin tidak akan kamu alami. Kalaupun kelak kamu menghadapi masalah, penting untuk memahami ada yang bisa kamu ubah, ada juga yang kamu hanya bisa menerima. Kendalikan hal-hal yang bisa kamu kendalikan, selebihnya coba pasrahkan.
Sebab jika orang-orang bijak itu benar bahwa dalam hidup ini semua hal ada waktunya, apa yang sekarang bisa kita lakukan cuma menikmati perjalanan dan bersikap baik pada orang. Cuma itu. Sisanya hanya mengisi waktu luang.